“Selama belum ada yng mati, peduli setan!”

Awalnya, kalimat ini sempat terbersit di kepalaku saat membaca liputan investigasi Tempo dan BBC Indonesia terkait makanan kedaluwarsa. Maklum, Pizza Hut, Marugame Udon, dan PHD merupakan restoran yang disukai masyarakat (termasuk aku). Lokasinya slalu ramai dan outletnya menyebar di kota-kota besar seluruh tanah air.

Baru sehari tayang, hujatan pun mengalir ke dua media besapr yang dikenal memiliki reputasi dalam peliputannya, termasuk pendalaman reportase investigasi, mulai dari kasus korupsi, pembakaran hutan, mafia migas , dll.

Investigasi adalah mahakarya tertinggi karya jurnalistik. Hal ini lantaran proses peliputannya butuh waktu berhari-hari hingga bulanan, tergantung fakta yng berhasil dikuak di lapangan. Apalagi liputan investigasi memiliki resiko yng besar bagi seorang jurnalis, tak hanya memakan waktu dan biaya besar, bahkan nyawa taruhannya. Seperti yang dialami seorang jurnalis SanJose Mercury News di Amrik yang menguak keterlibatan negara dan CIA atas penjualan narkoba di negara tsb. Meski investigasinya diganjar Pulitzer, penghargaan tertinggi jurnalistik dunia, namun liputan ini sempat tertutup eforia kasus perselingkuhan Presiden Clinton dengan Monica. Selang sebulan, Direktur CIA mengundurkan diri usai kasus ini merebak dan beberapa bulan kemudian, sang jurnalis ditemukan mati ditembak orang tak dikenal. Kisah ini berhasil diangkat ke layar lebar berjudul “Kill The Messenger.”

Kenyataan, tak banyak media besar di Indonesia yang menggeluti teknik investigasi dalam setiap edisinya. Lagi-lagi resiko dan biaya yang besar, belum lagi menghadapi gugatan hukum. Tempo salah satunya yang konsisten sejak 1974, saat menguak korupsi pertama di Indonesia yang dilakukan Probosutedjo (Saudara Tiri Soeharto) di perusahaan plat merah Pertamina.

Selain itu, tak mudah suatu topik bisa diangkat menjadi liputan investigasi  dalam sidang redaksi. Aku masih meyakini saat memutuskan topik yang diangkat untuk investigasi tentunya berlandaskan kepentingan masyarakat dan hukum. Tanpa itu, apalah artinya media. Karena kepercayaan lah yang membuat media tetap tumbuh subur sebagai sumber informasi yang layak dipercaya masyarakat.

Terkait bahan makanan kedaluwarsa di restoran-restoran ini pun diakui oleh salah satu petinggi perusahaan di Singapura dan menyalahi UU Perlindungan Konsumen. Meski tidak menimbulkan efek bahaya bagi konsumen tapi menurut pakar pangan lokal, tindakan restoran ini tidak etis secara moral. Dan lagi-lagi melanggar peraturan.

Anehnya, masyarakat bergeming dan terkesan justru membela restoran yang notabene sudah diperiksa oleh pihak kepolisian. Menariknya lagi, masyarakat justru menghujat kinerja jurnalis melakukan investigasi tersebut yang notabene dilakukan demi kepentingan kita sebagai konsumen. Mereka lebih percaya pemberitaan media abal-abal dan kutipan media online yang cenderung sepihak dan sepotong-sepotong (karena keterbatasan ruang)  yang sudah pasti tidak pernah melakukan investigasi sekali pun.

Sikap masyarakat ini mungkin lantaran lidahnya sudah berkarat dan kenyang dicekoki makanan “nikmat” bercampur pewarna pakaian, borax, dan formalin, juga vetsin di luar batas.

Kondisi ini mungkin mirip candaanku kepada kawan-kawan yang kerap mengatakan diriku awet muda (eh, hihihi), “wajarlah orang Indonesia awet muda karena makanannya banyak terkandung pengawet mayit.”

Jadi, apalah artinya makanan kedaluwarsa yang jelas-jelas masih diambang wajar, apalah artinya etika dan aturan, toh belum ada yang mati kan?! hehehe